Minggu, 05 Juni 2011

Peradilan Islam pada Masa Awal Penjajahan Belanda




Peradilan Islam pada Masa Awal Penjajahan Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Islam diajarkan dengan nama Mohammedaansch Recht, yang sempat diteruskan ketika Indonesia merdeka. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman VOC. Adanya Regeerings Reglemen mulai tahun 1855 merupakan pengakuan tegas terhadap adanya Hukum Islam, tersebut.[1]
Dalam tulisan H. Zaini Ahmad Noeh dan H. Abdul Basit Adnan di kemukakan beberapa pandangan tentang keadaan dan pandangan para ahli mengenai Peradilan Agama pada tahap awal pemerintahan Belanda. Menurut pendapat mereka dalam perpustakaan hukum adat diperoleh petunjuk, bahwa Pengadilan Agama memang sudah ada sebelum orang Portugis dan Belanda datang ke Indonesia. Prof. Dr. Snouck Hurgonye dalam tulisannya yang berjudul “Nederland en de Islam” menyebut Peradilan Agama sebagai suatu badan atau tatanan rakyat yang dalam bahasa Belanda disebut “Mohammedansch Volksintelling”. Namun ia berpendapat bahwa semestinya pemerintah Hindia Belanda tidak usah turut campur dengan urusan Peradilan Agama itu.[2]
Terlepas dari sejarah tersebut, sejak zaman Rasulullah hidup sampai zaman kerajaan Islam di nusantara, Pangadilan Agama sudah ada dan mempunyai wewenang yang luas di segala bidang, baik yang bersifat perdata atau pidana. Walaupun hukum acara Pengadilan Agama yang berlaku saat itu tidak terlalu formal, tapi Nabi sudah memberikan arahan terhadap hukum acara yang berlaku.
Tapi, sejak kehadiran Belanda di bumi nusantara, kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya pada hal-hal yang bersifat perdata, sedangkan perkara pidana diserahkan kepada Pengadilan Negeri, dan saya kira hal tersebut menjadi “PR” kita bersama bagaimana caranya supaya bisa mengembalikan peran Pengadilan Agama agar mempunyai wewenang yang sangat luas, sehingga keberadaan Pengadilan Agama tidak lagi menjadi ranah perdata tetapi ranah pidanapun harus bisa dicapai, walaupun seandainya berhasil digolkan untuk sementara hanya dengan hak opsi bagi para pihak yang berperkara dalam masalah pidana dengan memilih apakah menyelesaikannya di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri, hal tersebut bisa menjadi awal yang baik untuk memasukkan perkara pidana ke dalam wewenang Pengadilan Agama.


1) Peradilan Agama Sebelum Tahun 1882
            Pada masa penjajahan dulu sebenarnya pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama dalam masyarakat Indonesia ada beberapa pola. Soepomo dalam bukunya menyebutkan paling tidak ada 4 pola atau bentuk dari peradilan agama di Indonesia yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Ada daerah yang hanya mengenal segolongan pegawai agama yang diserahi pemeliharaan Masjid, melangsungkan perkawinan dan pekerjaan-pekerjaan lain menurut hukum syara Islam, tetapi tidak melakukan kekuasaan hakim (Gayo, Alas batak di Sumatera Utara, sebagian besar dari Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Minahasa). Karena tidak ada hakim agama maka sengketa-sengketa tentang perkawinan dan perceraian antara orang Islam yang ditempat lain diadili oleh hakim agama, dalam daerah-daerah itu diadili oleh hakim gubernemen atau hakim pribumi;
2.      Ada daerah disamping pegawai-pegawai masjid, didapati hakim agama tersendiri yang biasa disebut kadi atau hakim (Aceh, Jambi, Sambas, Pontianak, daerah-daerah pantai kalimantan Tenggara, Sulawesi Selatan, Ternate, ambon).
3.      Di Minangkabau tidak terdapat hakim agama tersendiri, tetapi urusan agama diadili pada rapat negeri dari kepala-kepala Negari, Pegawai masjid, dan alim ulama, yang istimewa harus diadakan pada hari jum’at sehingga rapat itu di sebut siding jum’at.
4.      Di jawa dan Madura dikenal adanya Peradilan Agama, akan tetapi hakim tersendiri tidak ada. Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dilakukan oleh pemimpin masjid, namanya penghulu.[3]
Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan kedatangan organisasi dagang belanda VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) tahun 1596 di Banten. Ketertarikan pihak kolonial terhadap kawasan nusantara, bukan saja disebabkan terdesaknya posisi Belanda dalam percaturan politik internasional, tetapi secara ekonomis nusantara ketika itu menjadi kawasan yang menjanjikan terutama rempah-rempah. Namun, secara sosiologis juga kolonialisme cenderung menjalankan misi ganda; ekonomi dan agama. Indonesia khususnya dan kawasan dunia melayu umumnya adalah komunitas muslim yang secara teologis dalam persepsi mereka dianggap menyimpang dan perlu diluruskan. Ini semakin meyakinkan karena di setiap misi dagang dan pemerintahan mereka melibatkan para pastor-pastor agama Kristen.
Misi VOC sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, VOC menggunakan hukum dan peraturan perundangan-undangan Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai kolonial akhirnya membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak secara mulus berjalan, dan dalam penerapannya mengalami hambatan.
Atas dasar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Belanda tetap mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti hukum keluarga Islam, perkawinan, waris dan wakaf.
Pemerintah Belanda sendiri waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18, berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan (lanraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam Statua (Undang-Undang) Jakarta 1642, bahkan hukum kekeluargaan diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der Indiesche Regerering pada 25 Mei 1760, yang merupakan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Atas perkembangan ini maka dikenal beberapa conpemdium yang disusun oleh pejabat-pejabat Belanda dari pakar hukum, misalnya Compendium van Glookwijk, Gubernur Sulawesi waktu (1752-1755), dan Compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761).8 Compendium Freijer tersebut adalah Kompilasi Hukum Islam di bidang kekeluargaaan yang dikumpulkan oleh ahli hukum D.W Freijer.[4]
Memang sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa di kalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi pemeluknya. Penyelesaian masalah masyarakat senantiasa merujuk kepada ajaran Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini, maka pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa di tengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam. Hal sama juga ketika VOC bubar dan berubah menjadi pemerintah jajahan, kedudukan hukum Islam masih tidak bisa diganggu gugat oleh kolonial. Berdasarkan gejala sosial seperti ini, L. W. C. van den Berg (1845-1927), seorang sarjana Belanda berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam berlaku teori, reception in complexu yang berarti orang-orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syariat Islam secara keseluruhan[5]
2) Peradilan Agama pada Tahun 1882-1937
a.  Sekitar Lahirnya Staatsblad 1882
            Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan raja Belanda (Konnonklijk Besluit), yakni raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 152. Di mana ditetapkan suatu peraturan tentang Peradilan Agama dengan nama “piesterraden” untuk Jawa dan Madura. 12 Arti Priester tersebut sebenarnya adalah pendeta. Pihak penguasa waktu itu beranggapan bahwa di kalangan umat Islam juga dikenal ada semacam pendeta seperti dalam agama Kristen. 13 Badan peradilan ini (Piesterraden) yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan terakhir dengan Pengadilan Agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Statsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882.14 Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dalam bahasa Belanda disebut “Bepalingen Betreffende de Priester raden op Java en Madoera”[6]
            Staatsblad 1882 No. 152 berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
Pasal 2
Pengadilan Agama terdiri atas; Penghulu yang diperbantukan kepada lanraad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur / Residen
 Pasal 3
Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan , kecuali dihadiri sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.
Pasal 4
Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasanya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan juga jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5
Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang di tandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.
Pasal 7
Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang / kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku.
            Stattsblad 1882 No. 152 ini dalam naskah aslinya tidak merumuskan wewenang Pengadilan Agama dan tidak pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang Pengadilan Agama dan wewenang Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan oleh Staatsblad 1882 No. 152 beranggapan bahwa wewenang Pengadilan Agama sudah ada dalam Staatsblad 1853 No. 58. Meskipun Staatsblad 1882 No. 152 ini telah mengatur tugas Pengadilan Agama sebagai badan peradilan, namun ketergantungan kepada bupati masih sangat besar. Hal ini seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgonye bahwa Staatsblad 1882 telah menyebabkan adanya perubahan. Dahulu para penghulu dalam melaksanakan tugas hukum merasa bergantung sekali pada bupati. Para bupati itu jelas menunjukkan kekuasaannya. Dalam peradilan agama, bahkan hingga sekarang para bupati masih harus diperingatkan akan kewajiban untuk tidak ikut mencampuri urusan dan banyak penghulu yang masih belum berani mengambil keputusan penting tanpa meminta nasihat terlebih dahulu dari bupati.[7]
            Walaupun demikian, perubahan susunan Pengadilan Agama pada tahun 1882 yang sebetulnya tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, ternyata telah membawa perubahan penting. Reorganisasi ini pada dasarnya adalah membentuk pengadilan-pengadilan Agama yang baru di samping setiap landraad (pengadilan negeri) dengan daerah hukum yang sama, rata-rata seluas kabupaten,[8] diakuinya Pengadilan Agama di bawah Undang-Undang Negara.
b. Pendapat-Pendapat Ahli Hukum Belanda
Christian Snouck Hurgonye adalah seorang ahli hokum Belanda yang kemudian melahirkan teori Receptie. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum adat ini memang ada masuk sedikit-sedikit pengaruh hukum Islam. Pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum adat dan lahirlah dia sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam.[9]
Atas desakan dan pengaruh Snouck Hurgonye dalam kedudukannya tersebut, dengan cara sistematis, halus dan berangsur-angsur, hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai diubah dan dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak menimbulkan kekecewaan dan reaksi dalam benak masyarakat Islam
seperti halnya perubahan terjadi pada ketentuan pasal 134 I.S. 1925 (yang berbunyi sama dengan ketentuan dengan pasal 78 R.R. 1855, R.R. 1907 dan R.R. 1919 dulu)[10] karena ada pergantian nama UUDS Pemerintah Kenyataan di atas Hindia Belanda dari Regerings Reglement menjadi Indishe Staatsregeling26 yang antara lain bunyi ayatnya:
Kalau terjadi perselisihan perdata antara penduduk inlander atau penduduk yang dipersamakan dengan mereka, diputuskan oleh kepala agama atau kepala adat mereka menurut undang-undang agamanya atau adat aslinya.
Diubah menjadi:[11]Dalam hal terjadi perkara perdata antar sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, keadaan tersebut telah diterima hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonantie”. Arti pasal ini bahwa hukum Islam yang berlaku hanyalah kalau telah direceptie oleh hukum adat. Perubahan tersebut terjadi pada tahun 1929 melalui Staatsblad 1929 No. 221.
Teori receptie yang dijadikan landasan kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap hukum Islam termasuk lembaga Peradilan Agama yang tercermin dalam pasal 134: (2) Indishe Staatsregeling (IS) dan Staatsblad 1882 no. 152. Kemudian didukung oleh Prof. Ter Haar dan beberapa sarjana hukum yang mendapat pendidikan Belanda, baik di Batavia maupun di negeri Belanda.
Dengan timbulnya aliran hukum adat di kalangan ahli hukum Belanda yang secara sistematis di pelopori oleh Van Vollenhoven dan diperjelas oleh Ter Haar, maka Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu panitia untuk merumuskan peraturan perbaikan Pengadilan Agama yaitu Commisie Voor Pristerrad pada tahun 1922-1924. Anggota baru terdiri dari :
1) 3 (tiga) orang bupati;
2) 5 (lima) orang penghulu;
3) 2 (dua) dari kalangan pergerakan Islam; dan
4) 1 (satu) ahli Hukum Belanda (Prof. Ter Haar).
            Hasil panitia atau komisi ini adalah dikeluarkannya Staatsblad tahun 1931 No. 53 yang memuat 3 (tiga) bagian yaitu Bagian Pertama, Tentang perubahan “ Peristerrad menjadi penghoeloeregecht” wewenang penghoeloeregecht dibatasi pada bidang munakahat saja, wewenang atas perkara waris dicabut. Bagian ini juga berisi perubahan / perbaikan dalam hokum acara dan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (Hooger Islami Aishe Zaken);
            Bagian Kedua, Tentang campur tangan Landraad dalam soal peradilan, harta bagi orang-orang Indonesia asli.
            Bagian Ketiga, tentang pembentukan balai harta peninggalan bagi orang Indonesia asli.[12]
            Dari sudut pandangan inilah dapat dipahami, bahwa tujuan politik hukum adat sejak tahun seribu sembilan ratus sepuluhan adalah untuk menghambat dan mengehentikan meluasnya agama Islam yang mengandung “pembebasan” dengan membentuk semacam tandingan, yaitu dengan memelihara adat kebiasaan dan menghidupkan kembali lembaga kuno yang sudah hampir lenyap. Walaupun rapuh, Pengadilan Agama ternyata merupakan simbol dari kekuasaan hukum Islam, yang bagi para ahli adat dan golongan ningrat sudah lama ingin menghapuskannya bila mungkin. Masalah hukum waris dan bidang hukum keluarga oleh umat Islam dianggap sebagai inti dari hukum agama-hal mana merupakan pertanda dari perkembangan Islam.[13]
Tapi, Staatsblad 1931 No. 53 ini tidak dapat berjalan, karena pemerintah Hindia Belanda merasa tidak cukup mempunyai anggaran belanja, yang dapat dilaksanakan dari Staatsblad ini adalah ketentuan mengenai pencabutan hak kekuasaan Peradilan Agama dalam urusan pengangkatan wali (Voogdij) dan dilimpahkan ke pengadilan Negeri. Terhadap penundaan ordonansi Staatsblad 1931 No. 53, Ter Haar mengajukan kecaman keras. Secara argumentatif Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran. Mengapa kompetensi Pengadilan Agama perlu disederhanakan, yakni:
1)      Adanya dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan biaya;
2)      Hukum waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belim menjadi hokum adat.
3)      Peradilan Agama berasal dari raja-raja feodal;
4)      Keputusan Pengadilan Agama terasa asing dari cara waris mewaris yang menjadi kesadaran hukum rakyat.
Alasan-alasan Ter Haar kemudian mendapat tanggapan serius dari Pemerintah Kolonial Belanda yang sesuai dengan kemampuan politik terencana untuk membatasi sarta mengurangi kompetensi Peradilan Agama.
Alasan inilah yang kemudian melahirkan Staatsblad 1937 No. 116 yang mengubah kompetensi Peradilan Agama yaitu menambah pasal 2a ayat (1) dalam Staatsblad 1882 no. 152 sehingga menjadi sebagai berikut: Pengadilan agama hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan hukum antara seorang suami istri yang beragama Islam, begitu juga perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perkara lain yang harus diputus oleh hakim agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan, pembayaran atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang pengadilan biasa, kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan Agama.
Dalam penjelasan sejarah tercatat bahwa teori Receptie tadi diambil alih menjadi politik hukum Pemerintah Belanda yang ternyata dengan sistematis dan konsepsional digunakan untuk mempersempit ruang gerak hukum Islam. Hasilnya adalah dikeluarkannya beberapa peraturan yang menggeser eksitensi dan esensi pasal 75 dan 78 RR 1855, sehingga refleksi hukum Islam semakin memudar dan akhirnya hilang”.[14]
Sehubungan dengan hal tersebut, seorang ahli hukum Indonesia yakni Hazairin, justru menentang teori resepsi ini. Ia mengemukakan bahwa seharusnya bagi orang Islam Indonesia diberlakukan hukum Islam. Menurutnya teori resepsi yang telah menjadi darah daging ahli hukum Indonesia yang dididik di zaman Belanda baik Jakarta maupun di Leiden adalah sebuah teori iblis yang menentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, bagi Hazairin teori ini justru melegitimasi pelanggaran terhadap hukum Islam.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa:
 Tahun 1882 adalah tahun di mana peradilan Agama secara formil menjadi satu badan peradilan yang masuk dalam sistem kenegaraan, yakni 1 Agustus 1882. Karenanya tahun 1982 yang lalu diperingati sebagai satu abad Peradilan Agama;
 Pengakuan ini dianggap Snouck Hurgonye merugikan Belanda, karenanya ia mengeluarkan teori Receptie menentang Van den Berg dan ahli hukum adat lainnya

REFERENSI
1) Abdurrahman. 2010. Pengadilan Agama di Indonesia. Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2) Djalil, A. Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesi. Jakarta: Kencana.
3) Halim, Abdul. 2002. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indoesia dari Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis Responsif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
4) Hamami, Taufiq. 2003. kedudukan dan Eksitensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.
5) Hasan, Ahmadi. 2009. Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar. Banjarmasin. Antasari Press
6) Lev, Daniel. S, TT. Islamic Court in Indonesia a Study in The political bases of Legal Institutions diterjemahklan oleh zaini Ahmad Noeh dengan judul Peradilan Agama Islam di Indonesia Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Huku. Jakarta: Intermasa.

7) M., Sirajuddin. 2008. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

8) http://www.pa-palangkaraya.net/images/File_PDF/sejarah%20peradilan.pdf








.




[1] Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 76-77

[2] Abdurrahman, Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010), h. 5
[3] Abdurrahman, Op Cit, h. 5-6
[4] Sirajudin M, Op Cit, h. 78
[5] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indoesia dari Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis Responsif, (jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 45-46
[6] Abdurrahman, Loc Cit
[7] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 50
[8] Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia a Study in The political bases of Legal Institutions diterjemahklan oleh zaini Ahmad Noeh dengan judul Peradilan Agama Islam di Indonesia Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, (Jakarta, Intermasa, TT), h. 29
[9] A. Basiq jalil, Op Cit, h. 52-53
[10] Taufiq Hamami, kedudukan dan Eksitensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 20-21
[11] Taufiq Hamami, Op Cit
[12] A. Basiq jalil, Op Cit, h. 53-54
[13] Daniel S. Lev, Op Cit, h. 45-46
[14] A. Basiq Jalil, Op Cit, h. 54-55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar