Minggu, 05 Juni 2011

Peradilan Islam pada Masa Awal Penjajahan Belanda




Peradilan Islam pada Masa Awal Penjajahan Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Islam diajarkan dengan nama Mohammedaansch Recht, yang sempat diteruskan ketika Indonesia merdeka. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman VOC. Adanya Regeerings Reglemen mulai tahun 1855 merupakan pengakuan tegas terhadap adanya Hukum Islam, tersebut.[1]
Dalam tulisan H. Zaini Ahmad Noeh dan H. Abdul Basit Adnan di kemukakan beberapa pandangan tentang keadaan dan pandangan para ahli mengenai Peradilan Agama pada tahap awal pemerintahan Belanda. Menurut pendapat mereka dalam perpustakaan hukum adat diperoleh petunjuk, bahwa Pengadilan Agama memang sudah ada sebelum orang Portugis dan Belanda datang ke Indonesia. Prof. Dr. Snouck Hurgonye dalam tulisannya yang berjudul “Nederland en de Islam” menyebut Peradilan Agama sebagai suatu badan atau tatanan rakyat yang dalam bahasa Belanda disebut “Mohammedansch Volksintelling”. Namun ia berpendapat bahwa semestinya pemerintah Hindia Belanda tidak usah turut campur dengan urusan Peradilan Agama itu.[2]
Terlepas dari sejarah tersebut, sejak zaman Rasulullah hidup sampai zaman kerajaan Islam di nusantara, Pangadilan Agama sudah ada dan mempunyai wewenang yang luas di segala bidang, baik yang bersifat perdata atau pidana. Walaupun hukum acara Pengadilan Agama yang berlaku saat itu tidak terlalu formal, tapi Nabi sudah memberikan arahan terhadap hukum acara yang berlaku.
Tapi, sejak kehadiran Belanda di bumi nusantara, kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya pada hal-hal yang bersifat perdata, sedangkan perkara pidana diserahkan kepada Pengadilan Negeri, dan saya kira hal tersebut menjadi “PR” kita bersama bagaimana caranya supaya bisa mengembalikan peran Pengadilan Agama agar mempunyai wewenang yang sangat luas, sehingga keberadaan Pengadilan Agama tidak lagi menjadi ranah perdata tetapi ranah pidanapun harus bisa dicapai, walaupun seandainya berhasil digolkan untuk sementara hanya dengan hak opsi bagi para pihak yang berperkara dalam masalah pidana dengan memilih apakah menyelesaikannya di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri, hal tersebut bisa menjadi awal yang baik untuk memasukkan perkara pidana ke dalam wewenang Pengadilan Agama.


1) Peradilan Agama Sebelum Tahun 1882
            Pada masa penjajahan dulu sebenarnya pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama dalam masyarakat Indonesia ada beberapa pola. Soepomo dalam bukunya menyebutkan paling tidak ada 4 pola atau bentuk dari peradilan agama di Indonesia yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Ada daerah yang hanya mengenal segolongan pegawai agama yang diserahi pemeliharaan Masjid, melangsungkan perkawinan dan pekerjaan-pekerjaan lain menurut hukum syara Islam, tetapi tidak melakukan kekuasaan hakim (Gayo, Alas batak di Sumatera Utara, sebagian besar dari Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Minahasa). Karena tidak ada hakim agama maka sengketa-sengketa tentang perkawinan dan perceraian antara orang Islam yang ditempat lain diadili oleh hakim agama, dalam daerah-daerah itu diadili oleh hakim gubernemen atau hakim pribumi;
2.      Ada daerah disamping pegawai-pegawai masjid, didapati hakim agama tersendiri yang biasa disebut kadi atau hakim (Aceh, Jambi, Sambas, Pontianak, daerah-daerah pantai kalimantan Tenggara, Sulawesi Selatan, Ternate, ambon).
3.      Di Minangkabau tidak terdapat hakim agama tersendiri, tetapi urusan agama diadili pada rapat negeri dari kepala-kepala Negari, Pegawai masjid, dan alim ulama, yang istimewa harus diadakan pada hari jum’at sehingga rapat itu di sebut siding jum’at.
4.      Di jawa dan Madura dikenal adanya Peradilan Agama, akan tetapi hakim tersendiri tidak ada. Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dilakukan oleh pemimpin masjid, namanya penghulu.[3]
Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan kedatangan organisasi dagang belanda VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) tahun 1596 di Banten. Ketertarikan pihak kolonial terhadap kawasan nusantara, bukan saja disebabkan terdesaknya posisi Belanda dalam percaturan politik internasional, tetapi secara ekonomis nusantara ketika itu menjadi kawasan yang menjanjikan terutama rempah-rempah. Namun, secara sosiologis juga kolonialisme cenderung menjalankan misi ganda; ekonomi dan agama. Indonesia khususnya dan kawasan dunia melayu umumnya adalah komunitas muslim yang secara teologis dalam persepsi mereka dianggap menyimpang dan perlu diluruskan. Ini semakin meyakinkan karena di setiap misi dagang dan pemerintahan mereka melibatkan para pastor-pastor agama Kristen.
Misi VOC sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, VOC menggunakan hukum dan peraturan perundangan-undangan Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai kolonial akhirnya membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak secara mulus berjalan, dan dalam penerapannya mengalami hambatan.
Atas dasar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Belanda tetap mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti hukum keluarga Islam, perkawinan, waris dan wakaf.
Pemerintah Belanda sendiri waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18, berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan (lanraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam Statua (Undang-Undang) Jakarta 1642, bahkan hukum kekeluargaan diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der Indiesche Regerering pada 25 Mei 1760, yang merupakan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Atas perkembangan ini maka dikenal beberapa conpemdium yang disusun oleh pejabat-pejabat Belanda dari pakar hukum, misalnya Compendium van Glookwijk, Gubernur Sulawesi waktu (1752-1755), dan Compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761).8 Compendium Freijer tersebut adalah Kompilasi Hukum Islam di bidang kekeluargaaan yang dikumpulkan oleh ahli hukum D.W Freijer.[4]
Memang sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa di kalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi pemeluknya. Penyelesaian masalah masyarakat senantiasa merujuk kepada ajaran Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini, maka pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa di tengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam. Hal sama juga ketika VOC bubar dan berubah menjadi pemerintah jajahan, kedudukan hukum Islam masih tidak bisa diganggu gugat oleh kolonial. Berdasarkan gejala sosial seperti ini, L. W. C. van den Berg (1845-1927), seorang sarjana Belanda berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam berlaku teori, reception in complexu yang berarti orang-orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syariat Islam secara keseluruhan[5]
2) Peradilan Agama pada Tahun 1882-1937
a.  Sekitar Lahirnya Staatsblad 1882
            Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan raja Belanda (Konnonklijk Besluit), yakni raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 152. Di mana ditetapkan suatu peraturan tentang Peradilan Agama dengan nama “piesterraden” untuk Jawa dan Madura. 12 Arti Priester tersebut sebenarnya adalah pendeta. Pihak penguasa waktu itu beranggapan bahwa di kalangan umat Islam juga dikenal ada semacam pendeta seperti dalam agama Kristen. 13 Badan peradilan ini (Piesterraden) yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan terakhir dengan Pengadilan Agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Statsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882.14 Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dalam bahasa Belanda disebut “Bepalingen Betreffende de Priester raden op Java en Madoera”[6]
            Staatsblad 1882 No. 152 berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
Pasal 2
Pengadilan Agama terdiri atas; Penghulu yang diperbantukan kepada lanraad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur / Residen
 Pasal 3
Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan , kecuali dihadiri sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.
Pasal 4
Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasanya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan juga jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5
Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang di tandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.
Pasal 7
Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang / kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku.
            Stattsblad 1882 No. 152 ini dalam naskah aslinya tidak merumuskan wewenang Pengadilan Agama dan tidak pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang Pengadilan Agama dan wewenang Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan oleh Staatsblad 1882 No. 152 beranggapan bahwa wewenang Pengadilan Agama sudah ada dalam Staatsblad 1853 No. 58. Meskipun Staatsblad 1882 No. 152 ini telah mengatur tugas Pengadilan Agama sebagai badan peradilan, namun ketergantungan kepada bupati masih sangat besar. Hal ini seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgonye bahwa Staatsblad 1882 telah menyebabkan adanya perubahan. Dahulu para penghulu dalam melaksanakan tugas hukum merasa bergantung sekali pada bupati. Para bupati itu jelas menunjukkan kekuasaannya. Dalam peradilan agama, bahkan hingga sekarang para bupati masih harus diperingatkan akan kewajiban untuk tidak ikut mencampuri urusan dan banyak penghulu yang masih belum berani mengambil keputusan penting tanpa meminta nasihat terlebih dahulu dari bupati.[7]
            Walaupun demikian, perubahan susunan Pengadilan Agama pada tahun 1882 yang sebetulnya tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, ternyata telah membawa perubahan penting. Reorganisasi ini pada dasarnya adalah membentuk pengadilan-pengadilan Agama yang baru di samping setiap landraad (pengadilan negeri) dengan daerah hukum yang sama, rata-rata seluas kabupaten,[8] diakuinya Pengadilan Agama di bawah Undang-Undang Negara.
b. Pendapat-Pendapat Ahli Hukum Belanda
Christian Snouck Hurgonye adalah seorang ahli hokum Belanda yang kemudian melahirkan teori Receptie. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum adat ini memang ada masuk sedikit-sedikit pengaruh hukum Islam. Pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum adat dan lahirlah dia sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam.[9]
Atas desakan dan pengaruh Snouck Hurgonye dalam kedudukannya tersebut, dengan cara sistematis, halus dan berangsur-angsur, hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai diubah dan dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak menimbulkan kekecewaan dan reaksi dalam benak masyarakat Islam
seperti halnya perubahan terjadi pada ketentuan pasal 134 I.S. 1925 (yang berbunyi sama dengan ketentuan dengan pasal 78 R.R. 1855, R.R. 1907 dan R.R. 1919 dulu)[10] karena ada pergantian nama UUDS Pemerintah Kenyataan di atas Hindia Belanda dari Regerings Reglement menjadi Indishe Staatsregeling26 yang antara lain bunyi ayatnya:
Kalau terjadi perselisihan perdata antara penduduk inlander atau penduduk yang dipersamakan dengan mereka, diputuskan oleh kepala agama atau kepala adat mereka menurut undang-undang agamanya atau adat aslinya.
Diubah menjadi:[11]Dalam hal terjadi perkara perdata antar sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, keadaan tersebut telah diterima hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonantie”. Arti pasal ini bahwa hukum Islam yang berlaku hanyalah kalau telah direceptie oleh hukum adat. Perubahan tersebut terjadi pada tahun 1929 melalui Staatsblad 1929 No. 221.
Teori receptie yang dijadikan landasan kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap hukum Islam termasuk lembaga Peradilan Agama yang tercermin dalam pasal 134: (2) Indishe Staatsregeling (IS) dan Staatsblad 1882 no. 152. Kemudian didukung oleh Prof. Ter Haar dan beberapa sarjana hukum yang mendapat pendidikan Belanda, baik di Batavia maupun di negeri Belanda.
Dengan timbulnya aliran hukum adat di kalangan ahli hukum Belanda yang secara sistematis di pelopori oleh Van Vollenhoven dan diperjelas oleh Ter Haar, maka Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu panitia untuk merumuskan peraturan perbaikan Pengadilan Agama yaitu Commisie Voor Pristerrad pada tahun 1922-1924. Anggota baru terdiri dari :
1) 3 (tiga) orang bupati;
2) 5 (lima) orang penghulu;
3) 2 (dua) dari kalangan pergerakan Islam; dan
4) 1 (satu) ahli Hukum Belanda (Prof. Ter Haar).
            Hasil panitia atau komisi ini adalah dikeluarkannya Staatsblad tahun 1931 No. 53 yang memuat 3 (tiga) bagian yaitu Bagian Pertama, Tentang perubahan “ Peristerrad menjadi penghoeloeregecht” wewenang penghoeloeregecht dibatasi pada bidang munakahat saja, wewenang atas perkara waris dicabut. Bagian ini juga berisi perubahan / perbaikan dalam hokum acara dan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (Hooger Islami Aishe Zaken);
            Bagian Kedua, Tentang campur tangan Landraad dalam soal peradilan, harta bagi orang-orang Indonesia asli.
            Bagian Ketiga, tentang pembentukan balai harta peninggalan bagi orang Indonesia asli.[12]
            Dari sudut pandangan inilah dapat dipahami, bahwa tujuan politik hukum adat sejak tahun seribu sembilan ratus sepuluhan adalah untuk menghambat dan mengehentikan meluasnya agama Islam yang mengandung “pembebasan” dengan membentuk semacam tandingan, yaitu dengan memelihara adat kebiasaan dan menghidupkan kembali lembaga kuno yang sudah hampir lenyap. Walaupun rapuh, Pengadilan Agama ternyata merupakan simbol dari kekuasaan hukum Islam, yang bagi para ahli adat dan golongan ningrat sudah lama ingin menghapuskannya bila mungkin. Masalah hukum waris dan bidang hukum keluarga oleh umat Islam dianggap sebagai inti dari hukum agama-hal mana merupakan pertanda dari perkembangan Islam.[13]
Tapi, Staatsblad 1931 No. 53 ini tidak dapat berjalan, karena pemerintah Hindia Belanda merasa tidak cukup mempunyai anggaran belanja, yang dapat dilaksanakan dari Staatsblad ini adalah ketentuan mengenai pencabutan hak kekuasaan Peradilan Agama dalam urusan pengangkatan wali (Voogdij) dan dilimpahkan ke pengadilan Negeri. Terhadap penundaan ordonansi Staatsblad 1931 No. 53, Ter Haar mengajukan kecaman keras. Secara argumentatif Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran. Mengapa kompetensi Pengadilan Agama perlu disederhanakan, yakni:
1)      Adanya dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan biaya;
2)      Hukum waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belim menjadi hokum adat.
3)      Peradilan Agama berasal dari raja-raja feodal;
4)      Keputusan Pengadilan Agama terasa asing dari cara waris mewaris yang menjadi kesadaran hukum rakyat.
Alasan-alasan Ter Haar kemudian mendapat tanggapan serius dari Pemerintah Kolonial Belanda yang sesuai dengan kemampuan politik terencana untuk membatasi sarta mengurangi kompetensi Peradilan Agama.
Alasan inilah yang kemudian melahirkan Staatsblad 1937 No. 116 yang mengubah kompetensi Peradilan Agama yaitu menambah pasal 2a ayat (1) dalam Staatsblad 1882 no. 152 sehingga menjadi sebagai berikut: Pengadilan agama hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan hukum antara seorang suami istri yang beragama Islam, begitu juga perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perkara lain yang harus diputus oleh hakim agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan, pembayaran atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang pengadilan biasa, kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan Agama.
Dalam penjelasan sejarah tercatat bahwa teori Receptie tadi diambil alih menjadi politik hukum Pemerintah Belanda yang ternyata dengan sistematis dan konsepsional digunakan untuk mempersempit ruang gerak hukum Islam. Hasilnya adalah dikeluarkannya beberapa peraturan yang menggeser eksitensi dan esensi pasal 75 dan 78 RR 1855, sehingga refleksi hukum Islam semakin memudar dan akhirnya hilang”.[14]
Sehubungan dengan hal tersebut, seorang ahli hukum Indonesia yakni Hazairin, justru menentang teori resepsi ini. Ia mengemukakan bahwa seharusnya bagi orang Islam Indonesia diberlakukan hukum Islam. Menurutnya teori resepsi yang telah menjadi darah daging ahli hukum Indonesia yang dididik di zaman Belanda baik Jakarta maupun di Leiden adalah sebuah teori iblis yang menentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, bagi Hazairin teori ini justru melegitimasi pelanggaran terhadap hukum Islam.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa:
 Tahun 1882 adalah tahun di mana peradilan Agama secara formil menjadi satu badan peradilan yang masuk dalam sistem kenegaraan, yakni 1 Agustus 1882. Karenanya tahun 1982 yang lalu diperingati sebagai satu abad Peradilan Agama;
 Pengakuan ini dianggap Snouck Hurgonye merugikan Belanda, karenanya ia mengeluarkan teori Receptie menentang Van den Berg dan ahli hukum adat lainnya

REFERENSI
1) Abdurrahman. 2010. Pengadilan Agama di Indonesia. Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2) Djalil, A. Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesi. Jakarta: Kencana.
3) Halim, Abdul. 2002. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indoesia dari Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis Responsif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
4) Hamami, Taufiq. 2003. kedudukan dan Eksitensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.
5) Hasan, Ahmadi. 2009. Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar. Banjarmasin. Antasari Press
6) Lev, Daniel. S, TT. Islamic Court in Indonesia a Study in The political bases of Legal Institutions diterjemahklan oleh zaini Ahmad Noeh dengan judul Peradilan Agama Islam di Indonesia Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Huku. Jakarta: Intermasa.

7) M., Sirajuddin. 2008. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

8) http://www.pa-palangkaraya.net/images/File_PDF/sejarah%20peradilan.pdf








.




[1] Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 76-77

[2] Abdurrahman, Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010), h. 5
[3] Abdurrahman, Op Cit, h. 5-6
[4] Sirajudin M, Op Cit, h. 78
[5] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indoesia dari Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis Responsif, (jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 45-46
[6] Abdurrahman, Loc Cit
[7] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 50
[8] Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia a Study in The political bases of Legal Institutions diterjemahklan oleh zaini Ahmad Noeh dengan judul Peradilan Agama Islam di Indonesia Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, (Jakarta, Intermasa, TT), h. 29
[9] A. Basiq jalil, Op Cit, h. 52-53
[10] Taufiq Hamami, kedudukan dan Eksitensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 20-21
[11] Taufiq Hamami, Op Cit
[12] A. Basiq jalil, Op Cit, h. 53-54
[13] Daniel S. Lev, Op Cit, h. 45-46
[14] A. Basiq Jalil, Op Cit, h. 54-55

Kedatangan Islam di Indonesia



Kedatangan Islam di Indonesia

Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual islam sendiri. Setidaknya ada beberapa teori yang menjelaskan kedatangan islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara.
1. Teori Pertama, diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya islam di Nusantara.
Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.
2. Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.
Teori ini menyakini islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.
Rudi Arlan Al-farisi di[1]


Masuknya Islam di Indoonesia
1. Babak pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah).
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sejak awal Islam tidak pernah membeda-bedakan fungsi seseorang untuk berperan sebagai dai (juru dakwah). Kewajiban berdakwah dalam Islam bukan hanya kasta (golongan) tertentu saja tetapi bagi setiap masyarakat dalam Islam. Sedangkan di agama lain hanya golongan tertentu yang mempunyai otoritas menyebarkan agama, yaitu pendeta. Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Al-Bana “ Nahnu du’at qabla kulla syai“ artinya kami adalah dai sebelum profesi-profesi lainnya.
Sampainya dakwah di Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya, dimuliakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai.
Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.
2. Babak kedua, abad 13 masehi.
Di abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam diberbagai penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik umat khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur turun kewibawaannya karena konflik internal. Hal ini dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga yang membina di wilayah tersebut bersama Raden Fatah yang merupaka keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, walaupun masih bersifat lokal.
Pada abad 13 Masehi ada fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran:
a) Perdagangan
b) Pernikahan
c) Pendidikan (pesantren)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya indonesia, dan juga adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
d) Seni dan budaya
Saat itu media tontonan yang sangat terkenal pada masyarakat jawa kkhususnya yaitu wayang. Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan sebelumnya mewarnai wayang tersebut dengan nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawam seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Para Wali juga menggubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.
e) Tasawwuf
Kenyatan sejarah bahwa ada tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan penyebaran agama Islam.
3. Babak ketiga, masa penjajahan Belanda.
Pada abad 17 masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah Nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya yakni VOC, semejak itu hampir seluruh wilayah nusantara dijajah oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para Ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.
Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
• Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
• Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
4. Babak keempat, abad 20 masehi
Awal abad 20 masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari Al-Qur’an dan hadist dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin pegang oleh lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikanpun tidak seluruh masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu yang pemimpin-¬pemimpin pergerakan adalah berasalkan dari golongan bangsawan.
Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang bersifat masih bersifat kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Serikat Islam dapat disebut organisasi pergerakan Nasional pertama daripada Budi Utomo.
Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada usia 25 tahun, seorang kaum priyayi yang karena memegang teguh Islam maka diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik gula. Ia adalah seorang inspirator utama bagi pergerakan Nasional di Indonesia. Serikat Islam di bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan Belanda. Tokoh-tokoh Serikat Islam lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis, yang membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, yang berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.
Dakwah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.
Di masa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan kekuatan umat oleh pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama). Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada seorang Jepang yang faham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat terbodohi.
Pemerintahan pendudukan Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjuti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagram Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman Bangsa Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat yang kontroversi dalam piagam ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha Esa.
5. Babak kelima, abad 20 & 21.
Pada babak ini proses dakwah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awalnya masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim.
Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah peduduk muslim terbesar di dunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah sebanding dengan kualitasnya.[2]

Model Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia


Model Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia


a. Peradilan Islam sebagai bidang kajian.
Peradilan Islam merupakan salah satu studi yang terdapat pada bidang ilmu Hukum islam dan Pranata social. Peradilan islam di Indonesia secara resmi dikenal sebagai Peradilan Agama, dan mendapat perhatian dari kalangan pakar hokum islam yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian, monografi, Skripsi, Tesis, Disertasi dan buku daras. Pengkajian Peradilan Islam Berlangsung sejak pranata hokum itu memiliki kedudukan yang semakin kokoh dalam pembagian kekuasaan Negara dan peranannya semakin menonjol. Bisa dilihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Ia akan menarik, karena sebagai satu-satunya pranata keislaman yang menjadi bagian dari penyelenggaran kekuasaan Negara.
b. Orientasi pengkajian
Berkenaan dengan pengkajian, diperlukan pemilihan serta penggunaan pendekatan dan metode pengkajian yang tepat. Yaitu tepat dalam pengertian dan bersesuian dengan runag lingkup maslah yang dikaji, seperti yang telah dijelaskan diatas. Dan tepat dalam pengertian bersesuaian dengan karakteristik bidang pengkajian yang merupakan bagian dari ilmu Agama Islam.
Dalam pengkajian PADI membutuhkan pembatasan wilayah pengkajian sebagaimana bidang pengkajian yang lain. Pembatasan itu sekaligus menunjukan ruang lingkup wilayah pengkajian PADI. Hal itu meberi kemungkinan untuk menentukan berbagai wilayah penelitian (research areas) dan masalah-masalah penelitian (research problems), dan metode penelitian yang tepat untuk digunakan dalam penngembangan pengkajian PADI. Secara garis besar wilayah pengkajian PADI tercermin dalam rumusan pengertiannya, yaitu “kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hokum dan keadilan”. Secara rinci ruang lingkup tersbut meliputi :
1. Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman, yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya dan dari pihak luar.
2. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, meliputi hierarki, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur lain dalam susunan organisasi Pengadilan.
3. Prosedur berperkara di Pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hokum procedural, dan produk-produknya.
4. Perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, perwakafan, dan shadaqah. Ia mencakup variasi dan sebarannya dalam berbagi badan peradilan.
5. Orang yang beragama islam sebagai pihak yang berperkara, atau para pencari keadilan.
6. Hukum islam sebagaia hukum substansial yang dijadikan rujukan.
7. Penegakan hukum dan keadilan.
c. Beberapa Model Pengkajian
Dengan pendekatan-pendekatan dan modifikasi metode penelitian, peradilan islam dapat dipahami, digambarkan, dan dijelaskan menurut kerangka berpikir tertentu yang didasrkan kepada satu atau beberapa teori tertentu; dan untuk tujuan tertentu. Berkenaan dengan hal itu, pemgkajian peradilan islan di Indonesia dapat dilakukan dengan beraneka ragam model atau bentuk. Pengkajian peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya :
1. Model pengkajian Relasional, yaitu model pengkajian yang dititikberatkan pada hubungan peradilan islam dengan pranata hokum lainnya.
2. Model Pengkajian Sosio-Hoistoris, yaitu model pengkajian yang dititikberatkan pada kronologis pertumbuhan dan perkembnagn Peradilan Islam dalam rentangan waktu tertentu.
3. Model Pengkajian Sistemik, yaitu model pengkajian ini dititikberatkan bahwa peradilan merupakan suatu kesatuan terintegrasi, yang terdiri dari berbagai unsure.
4. Model Pemgkajian Aspektual, yaitu model pengkajian yang dititkberatkan pada salah satu atau bagian dari unsure dalam sisitem peradilan.
5. Model Pengkajian Perbandingan, yaitu Model pengkajian yang dititikbertakan pada pada unsur persamaan, perbedaan, dan hubungan peradilan islam di kawasan Indonesia dengan peradilan di kawasan negara lain.
6. Model Pengkajian Analisis Yurisprudensi, pengkajian ini dititikberatkan pada pembahasan isi keputusan peradilan islam, baik putusan maupun penetapan yang telah mempunyai kekutan hokum.


DAFTAR PUSTAKA
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000